Sunday, January 19, 2014

Membudayakan Malu Untuk Mencapai Kedisiplinan

Pendidikan sebagai benteng untuk menghadapi degradasi mental yang selama ini mulai mewabah pada sebagian pelajar, lembaga pendidikan harus menciptakan formula yang ampuh sebagai penangkal virus yang menjadikan wabah tersebut agar tidak merajalela. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua maupun guru pada anak-anaknya pasti akan memberi pengaruh pada perilaku anak sehari-hari. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai penaggung jawab pendidikan harus berhati-hati dan terus menyampaikan nilai-nilai positif dalam mendidik anak. Kedisiplinan merupakan salah satu formula yang pas untuk menekan menjamurnya virus tersebut, karena dengan kedisiplinan anak berlatih untuk bertanggung jawab atas setiap aturan yang sudah menjadi kesepakatan, sebagai contoh kedisiplinan yang dilakukan oleh anak-anak di Jepang. Anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) dapat dengan sendirinya menata sepatunya di rak sebelum masuk kelas sehingga tidak ada sepatu yang berantakan dilantai, hal ini berbanding 180 derajat dengan siswa kita yang cenderung usianya lebih tua, jamaah sholat dhuhur saja ada yang harus nunggu diarahkan bapak/ibu guru. Selain kedisiplinan, budaya malu untuk melanggar aturan juga penting ditanamkan, sehingga anak akan cenderung tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan karena malu, dan ini harus menjadi kebudayaan. Dengan kebudayaan malu sebagai kontrol perbuatan, seseorang akan berpikir ulang untuk melakukan suatu pelanggaran. Jepang dianggap sebagai negara yang mempunyai kedisilpinan yang bagus, itu bisa kita lihat dari film-film jepang, bagaimana mereka bekerja, belajar bahkan berjalan, mereka melakukan itu dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab yang luar biasa, sehingga tidak hayal lagi kalau jepang menjadi salah satu negara maju dibidang ekonomi dan SDM. Yang menjadi pertimbangan orang Jepang sebelum berbuat adalah apakah perbuatan itu akan menyebabkan ia mendapat malu atau tidak. Orang Jepang (meskipun tidak bisa digeneralisasi) lebih memerhatikan bagaimana anggapan orang lain kepadanya dari segi sosial. Sebisa mungkin menghindari sikap yang memalukan (awkward moment). Sebagai seorang muslim, sebelum berbuat, maka ia mempertimbangkan dulu mana perbuatan yang mendatangkan dosa atau pahala; bermanfaat atau tidak; pantas dan layak atau tidak (malu jika tidak pantas); baik dan benar atau tidak; dan norma-norma yang ada. Dalam Islam malu merupakan bagian dari iman (al-Haya’ Minal Iman), walaupun malu bukan satu-satunya cara untuk mencegah seseorang untuk melakukan pelanggaran, malu diharapkan sebagai salah satu cara yang bisa diterapkan untuk mencegah hal tersebut. Lingkungan memberi pengaruh yang signifikan dalam penerapan budaya malu, karena lingkunganlah yang memberikan sangsi moral kepada si pelaku pelanggaran, sehingga lingkungan masyarakat dijadikan fungsi kontrol, karena ketika seseorang berada pada lingkungan yang tidak punya budaya malu, maka budaya malu itu akan luntur atau bahkan hilang. Maka, carilah lingkungan yang sama-sama (setidaknya) memiliki rasa malu. Malu untuk melakukan pelanggaran karena melihat sekelilingnya adalah orang-orang bersih; malu menjadi benalu karena sekelilingnya orang-orang produktif; malu berkeluh kesah karena sekelilingnya adalah orang-orang yang tulus; malu terlambat karena teman-temannya selalu tepat waktu dsb. Intinya, milikilah fungsi kontrol yang akan selalu menjaga dan membuat kita merasa terawasi dalam bersikap dan berbuat. Untuk itu diharapkan semua pihak terutama lingkungan, bersama-sama kita budayakan malu untuk mencapai kedisiplinan yang akan menjurus kepada kesuksesan dan kesejahteraan bersama, jangan dengarkan ucapan “isinan ngeleh atau isinan ra uman”.

No comments:

Post a Comment